skip to main |
skip to sidebar
Bersama kota sandingannya Solo yang kian menyatu tanpa jarak berarti,
Yogyakarta merupakan haribaan peradaban masyarakat Jawa yang masih hidup
hingga kini. Di sinilah semua berawal, mulai dari pemikiran pembinaan
Candi Borobudur yang megah, Candi Prambanan yang agung, kekuasaan
Mataram baru yang mengakar, hingga detik terakhir dilahirkannya
maestro-maestro seni, para pemikir, dan perajin berbakat luhung. Dengan
panggilan yang lebih romantis, Yogya, kota ini merupakan
stasiun bagi para pelajar dan mahasiswa dari pelbagai penjuru Indonesia,
bahkan Asia.Tak salah bila pada akhirnya Yogya telah bermetamorfosis
menjadi kota modern berbudaya majemuk dengan bongkahan karya warisan
untuk mempertahankan warna keasliannya.
Menempati kedudukan tertinggi
setelah Bali sebagai destinasi wisata favorit, Yogyakarta tak henti
mempersolek dirinya dengan perbaikan berbagai daya tarik. Mendaki tangga
Borobudur, melantai di lesehan Malioboro, menyusup jalan-jalan sempit di atas becak, menciduk butiran bakpia pathuk di lorong Sosrowijayan, menyinggahi puluhan butik kaki lima sepanjang Jalan Urip Sumoharjo yang lagi-lagi dikenang sebagai Jalan Malioboro, dan membenamkan diri di Pasar Beringhardjo adalah ritual para peziarah kesenangan yang tak jemu untuk datang dan datang lagi.
Perannya
tak hanya sebagai destinasi, karena Yogya pun adalah kota yang
menghubungkan daerah sekitarnya dengan berbagai magnet urban modern yang
berkembang di seberang laut, seperti Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Ujung Pandang, Manado, Ternate hingga Sorong.
Jakarta sebagai ibu kota negara tak lebih dari sejam dijangkau
penerbangan apapun yang juga bisa menjadi titik trampolin bagi Yogya ke
kota-kota di Pulau Sumatra. Dengan demikian, Yogya selalu menjadi salah
satu destinasi favorit bagi pertemuan dan pameran berskala
internasional. Semua terbina karena aksesnya yang nyaman dan
ketersediaan fasilitas umum atau wisata yang beragam, dikemas dalam
pelayanan yang prima dan sentuhan rasa yang personal.
Diceruk lain,
masyarakatnya yang ramah dan santun mencuatkan kota ini menjadi begitu
diinginkan oleh para pensiunan yang berharap dapat menjalani masa-masa
santai mereka di lingkungan yang tradisional, damai, lebih perlahan,
tapi tetap berpose di tengah pergaulan global. Canting-canting yang
menitik corak di sanggar pembatik menguatkan sensasi santainya hari-hari
di Yogyakarta. Kerutan dahi sang pengrajin wayang kulit yang meresapkan
warna pada karyanya meyakinkan kita betapa hidup mereka menetaskan
makna, walau duduk di teras sempit kediamannya yang disinari cahaya
pagi. Sementara di seberang benteng keraton, alun-alun timur menjadi
begitu semarak dengan tiang-tiang yang melambung terpancang menyambut
lomba burung perkutut seantero Pulau Jawa. Budaya yang hidup di
keseharian masyarakatnya adalah pameran budaya tanpa batas waktu, dan
Anda adalah undangan kehormatannya.Bersama kota sandingannya Solo yang kian menyatu tanpa jarak berarti,
Yogyakarta merupakan haribaan peradaban masyarakat Jawa yang masih hidup
hingga kini. Di sinilah semua berawal, mulai dari pemikiran pembinaan
Candi Borobudur yang megah, Candi Prambanan yang agung, kekuasaan
Mataram baru yang mengakar, hingga detik terakhir dilahirkannya
maestro-maestro seni, para pemikir, dan perajin berbakat luhung. Dengan
panggilan yang lebih romantis, Yogya, kota ini merupakan
stasiun bagi para pelajar dan mahasiswa dari pelbagai penjuru Indonesia,
bahkan Asia.Tak salah bila pada akhirnya Yogya telah bermetamorfosis
menjadi kota modern berbudaya majemuk dengan bongkahan karya warisan
untuk mempertahankan warna keasliannya.
Menempati kedudukan tertinggi
setelah Bali sebagai destinasi wisata favorit, Yogyakarta tak henti
mempersolek dirinya dengan perbaikan berbagai daya tarik. Mendaki tangga
Borobudur, melantai di lesehan Malioboro, menyusup jalan-jalan sempit di atas becak, menciduk butiran bakpia pathuk di lorong Sosrowijayan, menyinggahi puluhan butik kaki lima sepanjang Jalan Urip Sumoharjo yang lagi-lagi dikenang sebagai Jalan Malioboro, dan membenamkan diri di Pasar Beringhardjo adalah ritual para peziarah kesenangan yang tak jemu untuk datang dan datang lagi.
Perannya
tak hanya sebagai destinasi, karena Yogya pun adalah kota yang
menghubungkan daerah sekitarnya dengan berbagai magnet urban modern yang
berkembang di seberang laut, seperti Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Ujung Pandang, Manado, Ternate hingga Sorong.
Jakarta sebagai ibu kota negara tak lebih dari sejam dijangkau
penerbangan apapun yang juga bisa menjadi titik trampolin bagi Yogya ke
kota-kota di Pulau Sumatra. Dengan demikian, Yogya selalu menjadi salah
satu destinasi favorit bagi pertemuan dan pameran berskala
internasional. Semua terbina karena aksesnya yang nyaman dan
ketersediaan fasilitas umum atau wisata yang beragam, dikemas dalam
pelayanan yang prima dan sentuhan rasa yang personal.
Diceruk lain,
masyarakatnya yang ramah dan santun mencuatkan kota ini menjadi begitu
diinginkan oleh para pensiunan yang berharap dapat menjalani masa-masa
santai mereka di lingkungan yang tradisional, damai, lebih perlahan,
tapi tetap berpose di tengah pergaulan global. Canting-canting yang
menitik corak di sanggar pembatik menguatkan sensasi santainya hari-hari
di Yogyakarta. Kerutan dahi sang pengrajin wayang kulit yang meresapkan
warna pada karyanya meyakinkan kita betapa hidup mereka menetaskan
makna, walau duduk di teras sempit kediamannya yang disinari cahaya
pagi. Sementara di seberang benteng keraton, alun-alun timur menjadi
begitu semarak dengan tiang-tiang yang melambung terpancang menyambut
lomba burung perkutut seantero Pulau Jawa. Budaya yang hidup di
keseharian masyarakatnya adalah pameran budaya tanpa batas waktu, dan
Anda adalah undangan kehormatannya.Bersama kota sandingannya Solo yang kian menyatu tanpa jarak berarti,
Yogyakarta merupakan haribaan peradaban masyarakat Jawa yang masih hidup
hingga kini. Di sinilah semua berawal, mulai dari pemikiran pembinaan
Candi Borobudur yang megah, Candi Prambanan yang agung, kekuasaan
Mataram baru yang mengakar, hingga detik terakhir dilahirkannya
maestro-maestro seni, para pemikir, dan perajin berbakat luhung. Dengan
panggilan yang lebih romantis, Yogya, kota ini merupakan
stasiun bagi para pelajar dan mahasiswa dari pelbagai penjuru Indonesia,
bahkan Asia.Tak salah bila pada akhirnya Yogya telah bermetamorfosis
menjadi kota modern berbudaya majemuk dengan bongkahan karya warisan
untuk mempertahankan warna keasliannya.
Menempati kedudukan tertinggi
setelah Bali sebagai destinasi wisata favorit, Yogyakarta tak henti
mempersolek dirinya dengan perbaikan berbagai daya tarik. Mendaki tangga
Borobudur, melantai di lesehan Malioboro, menyusup jalan-jalan sempit di atas becak, menciduk butiran bakpia pathuk di lorong Sosrowijayan, menyinggahi puluhan butik kaki lima sepanjang Jalan Urip Sumoharjo yang lagi-lagi dikenang sebagai Jalan Malioboro, dan membenamkan diri di Pasar Beringhardjo adalah ritual para peziarah kesenangan yang tak jemu untuk datang dan datang lagi.
Perannya
tak hanya sebagai destinasi, karena Yogya pun adalah kota yang
menghubungkan daerah sekitarnya dengan berbagai magnet urban modern yang
berkembang di seberang laut, seperti Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Ujung Pandang, Manado, Ternate hingga Sorong.
Jakarta sebagai ibu kota negara tak lebih dari sejam dijangkau
penerbangan apapun yang juga bisa menjadi titik trampolin bagi Yogya ke
kota-kota di Pulau Sumatra. Dengan demikian, Yogya selalu menjadi salah
satu destinasi favorit bagi pertemuan dan pameran berskala
internasional. Semua terbina karena aksesnya yang nyaman dan
ketersediaan fasilitas umum atau wisata yang beragam, dikemas dalam
pelayanan yang prima dan sentuhan rasa yang personal.
Diceruk lain,
masyarakatnya yang ramah dan santun amencuatkan kota ini menjadi begitu
diinginkan oleh para pensiunan yang berharap dapat menjalani masa-masa
santai mereka di lingkungan yang tradisional, damai, lebih perlahan,
tapi tetap berpose di tengah pergaulan global. Canting-canting yang
menitik corak di sanggar pembatik menguatkan sensasi santainya hari-hari
di Yogyakarta. Kerutan dahi sang pengrajin wayang kulit yang meresapkan
warna pada karyanya meyakinkan kita betapa hidup mereka menetaskan
makna, walau duduk di teras sempit kediamannya yang disinari cahaya
pagi. Sementara di seberang benteng keraton, alun-alun timur menjadi
begitu semarak dengan tiang-tiang yang melambung terpancang menyambut
lomba burung perkutut seantero Pulau Jawa. Budaya yang hidup di
keseharian masyarakatnya adalah pameran budaya tanpa batas waktu, dan
Anda adalah undangan kehormatannya.
0 komentar:
Posting Komentar